Laman

Kamis, 17 Juni 2010

Ujian buat Pembangunan Berwawasan Lingkungan

Oleh
Rusdian Lubis
Kepala Pusat Studi Lingkungan Unhas, Ujungpandang.
Harian Kompas, 17 Maret 1992

TAHUN 1992 tampaknya akan menjadi ujian berat buat Menteri Negara KLH/Ketua Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) dan aparat-aparat pemerintah yang terlibat dengan masalah lingkungan hidup. Keputusan Menneg KLH no: 52/1987 menentukan tanggal 5 Juni 1992 sebagai batas waktu penyusunan Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan (SEMDAL) untuk proyek dan kegiatan pembangunan, yang telah berjalan dan diperkirakan mempunyai dampak nyata terhadap lingkungan.
Akhir-akhir ini, menyimak gebrakan-gebrakan Emil Salim terhadap beberapa industri yang makin gencar, naga-naganya Menteri Negara KLH/Ketua Bapedal konsisten menetapkan tanggal tersebut sebagai D-Day. Tetapi, mengutip Virgil: sed fugit interea, fugit inreparabile tempus; waktu berlalu seperti terbang dan tidak akan kembali. Jangka waktu lima tahun sejak keputusan No. 52/ 1987 itu telah hampir habis; tanpa terasa Juni 1992 sudah di ambang pintu.
Sementara itu, jangankan semua industri atau proyek lama melengkapi SEMDAL, sampai saat ini masih sangat banyak industri baru yang belum menyusun AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), apalagi menepati Rencana Kelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Mengapa hal ini terjadi?

Persepsi keliru
Pokok pangkalnya, masih banyak persepsi keliru tentang AMDAL. Menurut PP No. 29/ 1986, AMDAL sebagai tolok ukur kelayakan lingkungan dimaksudkan untuk melengkapi kelayakan teknis dan ekonomis suatu. proyek. Tetapi, masih banyak kalangan usahawan atau pemilik proyek yang menganggap AMDAL hanya akan menambah biaya investasi dan menyebabkan "ekonomi biaya tinggi". Oleh banyak usahawan, AMDAL masih sering dianggap sebagai sekadar syarat pro forma untuk mendapatkan akad kredit atau izin investasi, atau AMDAL malah bisa diatur belakangan setelah izin investasi keluar. AMDAL cuma ila-ila atau bahkan dianggap semacam regulasi baru yang tidak cocok di zaman deregulasi saat ini. Tidak heran kalau banyak pihak berusaha menghindari AMDAL atau membuat AMDAL asal jadi.
Anggapan-anggapan tersebut telah berulangkah dibantah Menteri Negara KLH. Nyatanya, memang biaya untuk pembuatan dokumen AMDAL hanya merupakan komponen kecil dari biaya investasi. Banyak kasus menunjukkan, proyek-proyek bernilai milyaran rupiah hanya menggunakan sebagian kecil dari biaya investasi untuk AMDAL. Biaya-biaya ini lebih kecil dari biaya untuk membayar konsultan manajemen teknis atau bahkan biaya untuk promosi dan iklan. Percayalah, pada situasi ekonomi uang ketat dan pajak tinggi seperti sekarang, akan banyak usahawan menghindari AMDAL dengan bermacam kilah dan kelit. Jangan lupa, tahun ini adalah Tahun Monyet yang tricky.

Kendala pelaksanaan AMDAL
Meskipun demikian, tidak fair juga untuk menimpakan semua kesalahan hanya kepada kalangan usahawan. Ada beberapa kendala yang menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi kewajiban membuat AMDAL, yang betul-betul memenuhi syarat PP 29/1986. Pertama, kendala ketersediaan dan kualitas konsultan AMDAL.
Sejak tahun 1980-an KLH dibantu oleh Pusat Studi Lingkungan di universitas-universitas, mulai mendidik konsultan AMDAL berkualifikasi A (dasar) atau B (penyusun) dan C (penilai). Sekarang mungkin ada ratusan konsultan AMDAL di Indonesia. Tetapi, karena AMDAL adalah kajian multidisiplin, suatu integrasi kajian biologi-kimia-teknis-sosial-ekonomi-budaya, maka secara teoretis AMDAL, banyak memerlukan sumber daya manusia dari berbagai disiplin dan sarana laboratorium. Faktor ini sering membatasi gerak konsultan, terutama di daerah. Akibatnya, kualitas dokumen AMDAL juga bervariasi dari asal jadi, sederhana, serius, sampai rumit atau hanya glossy report.
Masalah kualitas juga ditentukan oleh kondisi pasar AMDAL. Di daerah yang sedikit punya industri, katakanlah di IBT, pasar AMDAL adalah thin market; relatif banyak konsultan yang berebutan pasar terbatas. Dalam situasi ini, banyak konsultan banting harga dan mau membuat studi AMDAL dengan biaya rendah. Ini jelas menurunkan kualitas. Sebaliknya, di daerah yang relatif banyak industri dibandingkan jumlah konsultan AMDAL, sering terjadi over-demand untuk studi AMDAL. Apalagi menielang Juni 1992, bisa diperkirakan, konsultan AMDAL akan "panen". Dampaknya terhadap kualitas juga negatif. Karena, sebuah biro konsultan AMDAL akan menggarap berbagai macam proyek, katakanlah dari pabrik semen sampai penangkaran monyet. Situasi tersebut mendorong mereka bertindak tidak profesional dan bahkan sering tidak etis. Kasus-kasus AMDAL fiktif yang belakangan ini ramai dibicarakan, adalah salah satu contoh.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pernah ada pemikiran untuk mengontrol kualitas melalui self-regulation, dengan melembagakan para konsultan AMDAL dalam suatu organisasi profesi, sebut saja Ikatan Konsultan AMDAL Indonesia. Tetapi, perlu dipahami, bahwa regulasi berhubungan dengan kelembagaan. Regulasi tidak beroperasi pada institutional vacuum. Ikatan atau asosiasi tersebut dikhawatirkan akan menjurus pada pembentukan kartel, yang mempunyai kekuatan monopoli.
Menurut teori, pembentukan kartel merupakan distorsi. Paling minimum akan terjadi monopoli arus informasi antara anggota dan bukan anggota kartel. Sebuah kajian tentang masalah ini oleh Moy dan Veljanoski di Australia, mengungkapkan, bahwa mudarat kartel AMDAL tersebut lebih besar dari maslahatnya. Social lossnya ternyata lebih besar dari perbaikan kualitas yang diharapkan. Anggota kartel juga cenderung cheating. Dan, mengapa harus ada regulasi lagi? Sementara ini, peraturan Menteri Negara KLH tentang konsultan AMDAL yang mensyaratkan pendaftaran konsultan, mungkin telah mencukupi, meskipun jelas tidak sangat memuaskan.
Kedua, kendala-kendala yang berhubungan dengan pengawasan pihak ketiga (third party review). Selama ini kontrol kualitas dilakukan oleh birokrasi pengawasan: Komisi Daerah di tiap propinsi dan Komisi Pusat di tiap departemen yang diatur dengan Keputusan Menteri 53/1987, dan sejak tahun 1990 dilengkapi dengan Bapedal. Ada empat faktor yang menentukan keefektifan pengawasan tersebut, yaitu keahlian anggota komisi, anggaran untuk komisi, statutory power untuk memperoleh informasi, dan persepsi serta integritas para birokrat tentang lingkungan hidup.
Keahlian komisi dan anggaran untuk komisi jelas menentukan kelancaran review studi AMDAL. Kelambatan dan back-log dalam review sering terjadi, karena keahlian anggota komisi dan anggaran biaya (imbalan) untuk anggota komisi rendah. Kedua faktor ini merepotkan konsultan AMDAL terutama di daerah, yang harus bolak-balik berkonsultasi dengan Komisi Pusat di Jakarta, cuma untuk membetulkan koreksi dan tata bahasa; membuka peluang kick-back dan main mata antara konsultan dengan anggota komisi. Keterlambatan ini juga sangat merugikan usahawan "berwawasan lingkungan" yang beritikad baik memenuhi kewajiban membuat AMDAL dan menunggu proses perizinan.
Untuk mengatasi back-log dalam review, sebaiknya memang Komisi Daerah diberi wewenang lebih besar dalam review AMDAL di daerah tersebut. Departemen Parpostel misalnya, telah melakukan pelimpahan wewenang dalam review kepada Komisi Daerah. Tetapi, juga perlu dimaklumi, bahwa keahlian anggota Komisi Daerah di beberapa daerah tertentu, sangat terbatas. Untuk ini perlu ditingkatkan keahlian mereka melalui pendidikan AMDAL (terutama AMDAL Penilai), yang biasanya dikelola oleh Pusat Studi Lingkungan universitas setempat.
Kedua faktor lainnya, statutory power dan integritas anggota komisi, juga menentukan obyektivitas pelaksanaan AMDAL. Harap maklum, bahwa para anggota komisi, terutama komisi daerah, seringkali tak punya nyali untuk mengorek informasi proyek-proyek besar yang "strategic" atau milik kelompok-kelompok tertentu. Integritas dan obyektivitas anggota komisi seringkali diuji.
Di samping itu, banyak juga terjadi ekses konflik kepentingan, misalnya jika anggota komisi punya proyek dan atau malah biro konsultan AMDAL sendiri. Masalah-masalah semacam ini merupakan batu-batu ujian yang tersebar di jalan panjang menuju pembangunan berwawasan lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar