Laman

Senin, 08 Juni 2009

Peran Tokoh Agama Menanggulangi HIV/AIDS

KOMPAS 10 April 1994

KABAR baik menjelang akhir tahun lalu adalah tercapainya ketetapan hati pemerintah akan mengangkat Panitia Penanggulangan AIDS melalui suatu Keputusan Presiden. Lama sebelum ini penanganan masalah tersebut hanya dilakukan Departemen Kesehatan melalui salah satu direktorat jenderalnya. Artinya, dengan kebijakan baru tersebut urusan diangkatnya ke tingkat Menko Kesra, sehingga pembinaannya bersifat antardepartemen.
Kebijakan baru tersebut sekaligus memberikan indikasi Pemerintah RI tidak mau kecolongan. Salah satu negara tetangga Indonesia merespons dingin-dingin saja pada stadium awal perkembangan AIDS memasuki negeri itu, dan ternyata dalam perkembangannya kemudian sulit mengendalikan penyakit tersebut. Penderita AIDS di negeri itu dewasa ini mencapai sekitar 500.000 orang.

Penyebaran AIDS
Sampai masuk dekade kedua semenjak AIDS muncul pada tahun 1981 di Amerika Serikat, penyakit ini terus meminta korban. AIDS berkembang menjadi pandemi, menjelajah seantero dunia. Sampai awal 1993, kasus AIDS yang dilaporkan kepada WHO dari 173 negara. berjumlah 611.500. Tetapi Badan Kesehatan Sedunia itu memperkirakan jumlah kasus AIDS yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan, yaitu sekitar 2,5 juta kasus. Dari jumlah tersebut 1.500.000 kasus keberadaannya di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Sementara itu laporan WHO mengenai orang yang sudah terinfeksi HIV, kuman penyebab AIDS, menyebutkan jumlahnya telah mencapai 13.000.000 orang, umumnya penduduk di negara-negara dunia ketiga yang miskin. Diperkirakan setiap 8,5 detik HIV menginfeksi seorang korban barunya.
Indonesia sudah mulai diterjang epidemi AIDS semenjak kasus AIDS pertama dilaporkan dari Bali tahun 1987. Penyebarannya begitu cepat, sehingga menurut hasil monitoring Depkes, sampai tanggal 15 September 1993 terdapat 172 orang terdiri dari 42 penderita AIDS dan 130 pengidap HIV yang dilaporkan dari 11 propinsi.
Menteri Kesehatan pada minggu kedua Desember 1993, menyatakan kasusnya sudah meningkat menjadi 187. Fenomena gunung es diperkirakan berlaku untuk kasus AIDS ini. Jumlah yang dilaporkan hanya yang terlihat di permukaan saja, sedangkan sebagian besar berada di bawah permukaan dan belum mampu dipantau. Penyebaran AIDS di Indonesia sangat mengkhawatirkan.
Suatu epidemi AIDS yang besar seperti yang sampai sekarang sedang melanda Thailand, India dan Myanmar, tidak mustahil bisa terjadi di Indonesia. Ada tiga fakta epidemiologik yang mendukung kemungkinan terjadinya peristiwa seperti itu. Pertama, penularan HIV di Indonesia sudah eksponensial, sudah cepat sekali (tahun 1991 terjadi 18 kasus, 1992 terjadi 36 kasus dan sampai pertengahan Desember 1993 terjadi 187 kasus). Kedua, sumber infeksi HIV penyebab AIDS sudah tersebar di banyak propinsi (tahun 1987 terjadi hanya di satu propinsi, tahun 1993 sudah menjangkau 11 propinsi). Ketiga, secara geografis Indonesia terkepung oleh negara-negara tetangga yang mempunyai prevalensi HIV lebih tinggi.

Mengenal HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) bukan penyakit keturunan. Acquired artinya diperoleh, sedang immune deficiency adalah kekurangan kekebalan, yaitu kekebalan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap serangan kuman penyakit apa saja; dan arti syndrome ialah kumpulan gejala dan tanda penyakit. Penyebab AIDS adalah virus yang dikenal dengan nama HIV (Human Immuno-deficiency virus).
Masa inkubasi, jangka waktu sejak orang mulai terinfeksi HIV sampai munculnya gejala AIDS berkisar 5-10 tahun. Mereka yang sudah terinfeksi HIV pada tahun-tahun pertama tidak dapat dikenali, karena yang bersangkutan terlihat sehat-sehat saja tanpa sesuatu keluhan. Identifikasi hanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium darah orang bersangkutan.
Penularan HIV terjadi melalui empat cara: hubungan kelamin (seksual), melalui alat tusuk/suntikan (parenteral), transfusi darah, dan dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya (perinatal). Sebagian besar, lebih dari 90 persen penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV tidak ditularkan melalui kontak sosial biasa seperti jabatan tangan, berpelukan, berenang dalam kolam renang, memakai alat makan dan minum, menggunakan toilet atau menggunakan telepon yang sama dengan pengidap HIV. Juga tidak ditularkan melalui keringat, air mata dan gigitan serangga/nyamuk. Pendeknya tidak menular seperti cara menularnya penyakit menular pada umumnya. Tapi bedanya juga, sampai saat ini belum ada obat penyembuh AIDS. Vaksin untuk menjadikan orang kebal terhadap HIV/AIDS juga belum ada, sehingga dunia kedokteran meyakini, mereka yang terinfeksi HIV akan meninggal dunia karena AIDS.

Sumber daya manusia
Titik tekan program pembangunan Indonesia dalam PJPT II adalah pengembangan sumber daya manusia. Kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang harus dibangun dan dikembangkan sebagai bagian dari usaha pengembangan sumber daya manusia.
Sampai dengan tanggal 31 Juli 1993, mereka yang terinfeksi HIV/AIDS di Indonesia berdasarkan kelompok umur ternyata penderita yang berusia 20 - 39 tahun menduduki 72,7 persen dari seluruh penderita HIV/AIDS.
Terbaca dari laporan Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular Langsung, Ditjen P2M PLP, Depkes RI tersebut, korban infeksi HIV/AIDS justru terbesar dari tingkat usia paling produktif. Keadaan ini dengan proyeksi perkembangan ke depan, bisa cukup mengganggu program pengembangan sumber daya manusia.
Jika kita cermati cara penyebarluasan atau penularan HIV di Indonesia, terlihat sangat dipengaruhi berbagai bentuk perilaku risiko baik oleh pribadi maupun kelompok. Penularan HIV yang melalui hubungan seksual terjadi pada orang-orang yang perilaku hubungan seksualnya tidak sesuai dengan ajaran agama. Mereka adalah yang berganti-ganti pasangan karena menganut paham seks bebas, atau mereka yang akrab dengan praktek pelacuran. Perilaku seperti ini diketahui tidak saja berkembang di perkotaan, tapi juga mencapai daerah-daerah pinggiran.
Cepat lajunya penyebaran HIV antara lain juga karena masih lemahnya pelayanan kesehatan masyarakat (konseling dan penyuluhan kesehatan yang belum memadai, pemberian suntikan dengan alat yang tidak steril, skrining donor darah).
Akar munculnya perilaku risiko di masyarakat adalah tiga faktor mendasar yaitu kemelaratan, ketidaktahuan dan kekurangtaatan kepada ajaran agama. Praktek pelacuran sebagai sumber penularan HIV/AIDS misalnya, menjadi semakin berkembang karena adanya kemelaratan pada kelompok masyarakat dipadu dengan kekurangtaatan kepada ajaran agama pada mereka dan pada kelompok masyarakat "pemakai jasa" mereka.

Tokoh agama
Disadari oleh banyak pihak, khususnya mereka yang harus berhadapan langsung dengan tugas penanggulangan penyebaran HIV/AIDS dan mereka yang menangani bidang pengembangan sumber daya manusia, peran serta tokoh agama dalam usaha menanggulangi penyebaran HIV/AIDS sangat diperlukan. Lebih-lebih tokoh agama dalam wujud para dai, para mubalig Islam, para ustadz dan ustadzah, karena mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam.
Pada dai, mubalig, ustadz dan ustadzah dapat melakukan fungsi sebagai penyebar informasi tersebut, sekaligus memberikan petunjuk dan bimbingan yang lebih konkret mengatasi dan menyikapi kemelaratan, meluruskan sikap kurang taat kepada ajaran agama, khususnya yang berkaitan dengan perilaku yang telah menjadi pemicu lajunya penyebaran HIV/ AIDS di kalangan manusia Indonesia.
Jika saja para khatib shalat Jumat dapat melaksanakan gerakan itu, berjuta-juta manusia Indonesia dapat dijangkau, Dapat diperhitungkan, 87 persen orang Indonesia yang berjumlah 190.000.000 beragama Islam. Karena lebih dari seperduanya wanita yang tidak wajib bersembahyang Jumat, sebagian lagi laki-laki dewasa yang kurang taat melakukan ibadah sembahyang, sebagian lagi masih anak-anak, maka katakanlah 50.000.000 orang di antaranya setiap hari Jumat mendengarkan khotbah dari para kiai yang bertindak sebagai khatib. Khotbah jumat rata-rata memakan waktu sekitar 20 - 30 menit. Kalau saja para khatib tersebut didekati, diajak bicara, berkhalaqah, berlokakarya, kemudian bersedia berperan serta dalam penanggulangan masalah HIV/AIDS, dibekali dengan informasi-informasi tentang epidemi ini, mereka akan mampu melakukannya.
Sudah menjadi kerja rutin para khatib shalat Jumat berdakwah meluruskan perilaku seks yang tidak menaati ajaran agama. Setiap kali isu itu muncul sebagai isi khotbah. Jika kemudian dipadu dengan informasi tentang HIV/AIDS dan bahaya besar yang dikandungnya, akan menjadi paduan informasi yang mudah disebarkan lebih lanjut oleh para jamaah. Penyebaran kemasan informasi tersebut akan dapat menembus kalangan yang malas atau tidak wajib ke masjid untuk shalat Jumat seperti kaum wanita. Bahkan tidak mustahil akan sampai pula kepada kelompok sasaran berisiko tinggi.
Pengorganisasian dan dukungan sumber daya lainnya merupakan prasyarat jika gagasan ini hendak direalisasikan. Mungkin justru di sini peran Panitia Penanggulangan AIDS yang sedang ditunggu kelahirannya itu. Gagasan ini pun baru berkait dengan tahap pencegahan. Masih banyak lagi yang harus ditangani, tahap diagnose, tahap pengelolaan kasus dan post mortem. ***
(H. Said Budiary — Direktur Lakpesdam NU, Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nandlatul Ulama)

Pengaturan Gizi Untuk Kesehatan Jantung

Oleh: Susirah Sutardjo,MSc
Mimbar Karya, minggu II Januari 1992

Kejadian penyakit jantung di beberapa negara Barat relatif menurun, tetapi justru meningkat di negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, Sri Langka. Namun demikian penyakit jantung masih merupakan penyebab kematian utama di negara-negara Barat tersebut.
Kejadian penyakit jantung di Indonesia meningkat terus terutama pada golongan sosial ekonomi menengah ke atas, khususnya di kota-kota besar. Menurut survey rumah tangga tahun 1980, penyakit jantung merupakan penyebab kematian No.3 di Indonesia, dan pada tahun 1987 sudah merupakan penyebab kematian no.2.
Perbaikan pelayanan kesehatan, peningkatan aktifitas fisik dan rekreasi, berhenti merokok dan mengubah kebiasaan makan berpengaruh terhadap penurunan kejadian penyakit jantung. Dalam tulisan ini akan dibahas kebiasaan makan yang balk untuk mencegah penyakit jantung.

Pengaruh Zat Gizi Terhadap Penyakit Jantung
Komposisi kandungan zat-zat gizi dalam makanan dapat berpengaruh terhadap penyakit jantung. Tingginya kadar lemak darah merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya penyakit jantung koroner. Beberapa penelitian mengemukakan, perubahan pola makan dapat mempengaruhi kadar lemak darah, yang berarti pula mempengaruhi terjadinya penyakit jantung koroner. Lemak makanan merupakan komponen makanan yang pengaruhnya paling besar terhadap pengaturan metabolisms kholesterol. Zat gizi lain yang berpengaruh terhadap penyakit jantung adalah protein nabati, serat, vitamin E, C, karoten dan mineral tertentu.
Lemak makanan terdiri dari beberapa asam lemak, yaitu asam, lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh.
Lemak jenuh adalah lemak yang sebagian besar asam lemaknya terdiri dari asam lemak jenuh. Lemak jenuh cenderung menaikkan kadar kolesterol dan trigliserida darah. Bahan makanan yang banyak mengandung lemak jenuh adalah lemak hewan, lemak susu, mentega, keju, cream, kelapa, santan, minyak kelapa, margarin dan kue-kue yang dibuat dengan bahan makanan tersebut.
Lemak tidak jenuh yaitu lemak yang sebagian besar asam lemaknya tidak jenuh. Lemak tidak jenuh dapat menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah. Terdapat banyak dalam minyak kedelai, jagung, biji bunga matahari, biji kapas, minyak zaitun dan minyak ikan.

Kolesterol
Kolesterol adalah sejenis lemak. Tubuh memperoleh kolesterol dari dua sumber yaitu pertama dibentuk sendiri oleh hati dan dari makanan sehari-hari. Kolesterol terdapat dalam semua jaringan hewan, oleh karena itu terdapat dalam semua bahan makanan berasal hewan. Kolesterol yang berasal dari makanan, dapat meningkatkan kadar kolesterol darah. Bahan makanan yang berasal tumbuhan tidak mengandung kolesterol.

Serat
Yang dimaksud serat ialah serat makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Serat makanan adalah bagian dari makanan berasal tumbuhan yang tidak dicerna oleh enzim pencerna dalam perut manusia. Serat makanan juga dapat menurunkan kolesterol darah dan meningkatkan pengeluaran asam empedu melalui tinja. Selain itu bahan makanan sumber serat umumnya mengandung rendah kalori dan memberikan rasa kenyang. Bahan makanan sumber serat adalah kacang-kacang, tempe, sayuran, buah-buahan dan serealia.

Protein
Protein sangat dibutuhkan tubuh sebagai zat pembangunan. Selain itu protein juga berpengaruh terhadap kadar kolesterol darah. Bahan makanan sumber protein berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan/nabati. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa protein nabati dapat mencegah hiperkolesterolemia apabila dibandingkan dengan protein hewani.
Di Indonesia sumber protein nabati seperti tempe, tahu, dan kacang-kacangan, sudah biasa digunakan sebagai lauk pauk. Oleh karena itu tidak sulit untuk meningkatkan konsumsi protein nabati dalam rangka meningkatkan kesehatan jantung.

Peranan Vitamin Terhadap Penyakit Jantung Koroner
Beberapa penelitian epidemiologi mengemukakan adanya peranan penting antioksidan seperti karoten, vitamin E, dan vitamin C terhadap penyakit jantung. Misalnya pada orang vegetarian ternyata kejadian penyakit jantung koroner dan kanker sangat rendah dibandingkan dengan yang bukan vegetarian. Konsumsi karoten, vitamin E dan C ternyata sangat tinggi pada kelompok vegetarir.
Oleh karena itu dianjurkan untuk mengkonsumsi bahan makanan kaya akan karoten, vitamin E dan C agar konsumsi vitamin tersebut optimal. Dengan demikian potensi perlindungan terhadap penyakit jantung koroner dan kanker dapat optimal. Bahan makanan sumber karoten dan vitamin E adalah sayuran buah-buahan berwarna hijau jingga dan kuning dan bahan makanan sumber vit.C adalah sayuran dan buah-buahan segar.

Aneka Ragam Makanan
Penganekaragaman makanan, bersama-sama dengan kecukupan zat-zat gizi dan energi yang tidak berlebihan, saat ini dianjurkan di mana-mana baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dikemukakan bahwa dengan meningkatkan keanekaragaman makanan, mungkin dapat menurunkan pengaruh toksik dari makanan. Makin bervariasi makanan yang dimakan, makin baik sifat melindungi terhadap penyakit jantung koroner.
Penelitian untuk menguji apakah aneka ragam makanan dapat melindungi terhadap risiko penyakit jantung koroner dilakukan terhadap 276 wanita-wanita Cina di Australia berumur >25 tahun. (4). Makin beraneka ragam makannya, ternyata kejadian penyakit jantung makin rendah, jadi keanekaragaman makanan dapat dijadikan sebagai ukuran dan pertimbangan dalam studi pencegahan penyakit jantung dan peningkatan upaya kesehatan.

Pengaturan Makanan
Mengatur makanan yang baik dapat mengurangi risiko terkena penyakit jantung. Makanan yang dianjurkan khususnya bagi yang sudah mempunyai faktor risiko, untuk pencegahan penyakit jantung adalah sebagai berikut : Makanan seimbang, beraneka ragam, mengurangi konsumsi lemak jenuh dan kolesterol, menambah konsumsi lemak tidak jenuh, banyak makan sayur dan buah-buahan sebagai sumber karoten, vit.E dan vit.C, mengurangi garam dan menambah konsumsi serat.

Pilih Deterjen atau Sabun?

* Jangan Terpengaruh Gencarnya Iklan
Kompas 10 April 1994, halaman 12

TAK kurang dari delapan merek sabun dan deterjen yang dijual di pasaran. Orang dengan mudah mendapatkan berbagai merek deterjen dan sabun itu di pasar swalayan maupun di warung pinggir jalan, dengan variasi kemasan mulai dari sekali pakai sampai yang berisi dua kilogram.
Deterjen dan sabun kini sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok sebagian besar orang Indonesia. Di kota-kota besar terutama, orang mencuci pakaian dengan menggunakan deterjen, hanya sebagian kecil saja yang masih menggunakan sabun batangan. Kalaupun sabun dipakai, umumnya tetap dicampur dengan menggunakan deterjen. Deterjen tetap menjadi bahan utama pencuci pakaian, untuk merendamnya. Kalau dengan deterjen dirasakan baju belum bersih, barulah sabun digunakan.
Padahal, kata Cacik Awananto, dari Bidang Penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), penggunaan deterjen tak lalu berarti hasil cucian lebih bersih dibanding kalau kita menggunakan sabun cuci biasa. "Orang sering terkecoh dengan busa yang dihasilkan deterjen. Banyaknya busa itu sebenarnya bukanlah faktor yang menentukan lebih bersih tidaknya cucian," tandasnya.
Sabun batangan biasa meski tak menghasilkan busa semelimpah deterjen, tetapi tetap mempunyai daya pembersih yang cukup baik. Di samping itu, sabun batangan pun relatif lebih aman dipakai. "Pemakaian sabun biasanya tak memberi masalah, meski untuk mereka yang berkulit sensitif sekalipun. Tetapi dengan deterjen, ada konsumen yang mengeluh iritasi pada kulit kaki dan tangan," kata Cacik.
Ditambahkannya, sabun fungsinya hanya melarutkan kotoran yang menempel baik di pakaian maupun di tangan. Tidak sampai mengganggu kulit. Sementara deterjen pengaruhnya selain melarutkan kotoran, juga mampu menembus sampai ke lapisan lemak kulit. Lapisan lemak kulit yang berfungsi mencegah masuknya zat-zat dari luar itu pun jadi teriritasi.

Perbedaannya
Kini sabun batangan kurang populer dibanding deterjen. Apalagi iklan berbagai merek deterjen biasanya sangat gencar, disertai berbagai hadiah, sehingga konsumen pun menjadi terpengaruh. Mereka lalu meninggalkan sabun dan beralih ke deterjen. Meski kegunaan deterjen dan sabun sama, yaitu sebagai alat pembersih, namun bahan yang dikandung keduanya berbeda.
Dalam Warta Konsumen disebutkan deterjen terbuat dari bahan kimia yang merupakan hasil samping penyulingan minyak bumi (benzene sulfonat), ditambah bahan kimia seperti senyawa fosfat, silikat, zat pewangi, pewarna dan bahan lainnya. Bentuk deterjen bisa serbuk, cairan maupun krem, dan menghasilkan banyak busa. Umumnya dipakai membersihkan pakaian dan perabot rumah tangga.
Sedang sabun dibuat dari minyak nabati atau hewani yang dicampur dengan bahan kimia natrium atau kalium hidroksida, zat pewangi, zat pewarna dan bahan lainnya. Sabun umumnya berbentuk batangan (padat), kurang menghasilkan busa, dan dipakai selain untuk mencuci pakaian dan perabot rumah tangga, juga bisa untuk membersihkan tubuh.
Menurut Cacik, sabun sudah dikenal sejak abad 19. Karena sifatnya yang mampu melarutkan lemak maupun kotoran, maka sabun pun lalu menjadi salah satu kebutuhan pokok rumah tangga. Sedang deterjen dikenal setelah Perang Dunia II. "Hampir pada setiap merek deterjen sekarang ini disebutkan bahan unggulan yang dikandungnya. Antara lain ada yang menyebutkan mengandung biolite, LAS (linear alkyl sulfonat), atau enzim yang dapat membersihkan dengan sempurna," ujarnya.
Namun apa yang dimaksud dengan bahan tersebut, kelebihan dan kekurangan serta akibatnya bagi manusia maupun lingkungan, tak diuraikan dalam kemasan produk. "Dari basil wawancara dengan konsumen, mereka umumnya tak tahu apa kegunaan bahan unggulan dalam deterjen itu. Pemilihan produk dipertimbangkan terutama dari harganya, dan juga ingin mencoba karena terpengaruh iklan. Konsumen juga tidak yakin apakah deterjen yang mencantumkan bahan unggulan memang mampu membersihkan cucian lebih baik dari yang tidak ada bahan unggulannya," katanya.

Dampak lingkungan pencemaran deterjen

Oleh:
Agus Sugianto
Dosen Ekologi Perairan FMIPA Unair Surabaya
HARIAN SURYA 2 MARET 1992

Belum lama ini Surya dalam headline-nya memberitakan, air PDAM Surabaya tercemar deterjen. Kadar deterjennya nyaris sama dengan kadar yang terkandung dalam air Kali Surabaya sebagai bahan baku PDAM. Hasil penelitian sekelompok peneliti, seperti diekspose itu, sebenarnya masih memenuhi syarat. Berdasar keputusan Menteri Negara KLH No: Kep-02/MENKLH/I/1988, kadar deterjen air PDAM (0,210-0,313 mg/1) maupun kadar Kali Surabaya (0,240 - 0,378 mg/1) masih di bawah kadar maksimum yang diperbolehkan yaitu 0,5mg/l SABM (senyawa aktif biru metilen). Walau kecil, instalasi pengolahan PDAM cukup mampu menurunkan kadar deterjen dari air bakunya.
Namun, karena kecenderungan meningkatnya kadar deterjen di Kali Surabaya akibat terus meningkatnya pencemaran limbah rumah tangga, bukan tidak mungkin suatu saat bahan ini di badan air juga terus meningkat. Dan, akibatnya, instalasi PDAM pun kewalahan menetralisirnya.

Biang keladi
Biang keladi pencemaran deterjen di Kali Surabaya adalah bahan baku deterjen menggunakan senyawa ABS (alkil benzena sulfonat). Bahan baku ini digunakan sebagai campuran deterjen karena mudah larut dalam air dan mempunyai daya pembersih yang menakjubkan. Kelemahannya, gugus ABS-nya sangat stabil (karena rantai alkilnya bercabang), sukar diurai oleh mikroorganisme.
Kandungan mikroorganisme (bakteri) di sungai-sungai di Indonesia sebenarnya cukup tinggi yaitu 102-109 MPN/100ml. Kandungan bakteri sebesar ini, mampu mengurai deterjen ABS sehingga kadarnya menjadi rendah. Karena kebanyakan sungai merupakan tempat pembuangan limbah berbagai kegiatan manusia (industri, domestik dan pertanian), kadar oksigen terlarut (DO)-nya, sangat rendah. Rendahnya oksigen mempengaruhi kecepatan penguraian deterjen oleh bakteri.
Berdasar penelitian Terangna dan Rahayu (1989), pada sampel deterjen yang diberi bakteri dan diaerasi terus menerus dengan kadar oksigen dipertahankan mencapai 70% pada hari ke 7. Pada kondisi tanpa aerasi, penurunan kadar deterjen hanya 58% pada hari yang sama. Deterjen, secara alami cepat terurai di sungai, asal kandungan oksigen kira-kira 6-7 ppm.

Perlu diganti
Mengingat kandungan oksigen Kali Surabaya (dan sungai-sungai lain di Indonesia) umumnya rendah, penggunaan ABS tetap merupakan ancaman pencemaran masa mendatang. Karenanya, perlu diganti jenis deterjen yang mudah terurai.
Di negara maju, deterjen ABS ini sudah tidak digunakan lagi. Gantinya, dipergunakan bahan baku LAS (alkil linier benzena sulfonat). Kelebihannya, rantai alkilnya lurus sehingga mudah diuraikan oleh bakteri. Dengan kondisi sungai yang kadar oksigennya rendah, penggunaan LAS sangat menguntungkan karena mudah terurai. Berdasar penelitian, LAS dapat terurai sebesar 81% dalam waktu 2 hari dalam air yang mengandung bakteri, dibanding ABS hanya 29%.
Dampak paling mengkhawatirkan, diduga dapat berefek teratogen (cacat) pada janin manusia, seperti dialami janin tikus (Surya 3,4 Peb 1992). Namun, berapa besar kadar yang berefek teratogen (cacat) pada manusia, perlu penelitian lebih lanjut. Yang jelas, deterjen berdampak negatif yang cukup luas pada ekosistem perairan, di antaranya sebagai berikut.

Pendangkalan perairan
Deterjen (ABS dan LAS) merupakan salah satu sumber fosfor dalam perairan. Di Inggris, 47-55% fosfor yang masuk ke perairan berasal dari deterjen. Di Amerika, 40-70% limbah fosfor berasal dari deterjen.
Masuknya fosfor ke perairan, tidak semuanya segera dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Karena sukarnya gugus fosfor diurai, sebagian tertimbun di perairan, makin lama makin banyak. Ini dapat menimbulkan pendangkalan. Warna hitam di dasar perairan merupakan bukti pengendapan unsur fosfor.

Eutrofikasi dan pengurangan oksigen
Gugus fosfat sukar diurai oleh bakteri, tetapi merupakan sumber nutrien bagi algae dan tumbuhan air, khususnya di perairan tawar. Meningkatnya kadar fosfat menyebabkan eutrofikasi (penyuburan) algae hijau biru (Microsystis aeruginosa, Anabaena sp dan Oscillatoria sp), algae prymnesium parvum dan bakteri clostridium butolinum.
Sayangnya, kehadiran mikroorganisme ini tidak diinginkan manusia. Pada densitas 104-105 sel/ml, prymnesium parvum cukup untuk memproduksi racun sehingga dapat membunuh ikan. Daya racunnya meningkat jika kandungan fosfor menurun karena pembentukan fosfolipid dalam membran sel ikan terganggu, sehingga racun dapat menembus membran sel (Dafni et al, 1972 dalam Mason, 1981). Bakteri Clostridium bulotinum umumnya melimpah di perairan dangkal yang kadar fosfatnya meningkat. Bakteri ini tumbuh di sedimen dan memproduksi racun sehingga dapat membunuh hewan yang meminum airnya. Microsystis aeruginose, kehadirannya di perairan menimbulkan bau tidak sedap. Hanva sedikit jenis hewan air yang mampu mencerna algae hijau biru ini.
Meledaknya populasi algae atau tumbuhan air, menurunkan kadar nutrien. Karena kehabisan nutrien, algae mati dan menjadi makanan bakteri air. Bakteri dalam mendekomposisi algae memerlukan oksigen, sehingga mempercepat berkurangnya kadar oksigen dalam perairan. Karena habisnya oksigen, bakteri ini (bakteri aerobik) mati. Proses dekomposisi, diperankan oleh bakteri anerobik. Bakteri ini mengurai nitrat menjadi amoniak dan sulfat menjadi sulfida yang bersifat racun bagi biota air. Penguraian oleh bakteri ini juga meningkatkan kandungan CO2 yang juga bersifat racun.
Karena sifat deterjen aktif permukaan, dengan kadar yang rendah pun (kira-kira 0,5 ppm), sudah mampu membentuk busa. Busa ini dapat menghambat difusi oksigen dari udara ke perairan. Konsentrasi oksigen dalam air penting, sebab jika konsentrasi turun ke bawah 5 ppm, daya racun deterjen terhadap ikan mulai meningkat.

Efek racun bagi biota air
Konsentrasi sublethal deterjen meningkatkan frekuensi respirasi ikan, sehingga konsumsi oksigen meningkat 2-3 kali. Ikan yang keracunan deterjen menunjukkan gejala mati lemas. Mulut dan tutup insang (operkulum) terbuka, tubuh diselimuti lendir, insang berwarna merah dan menyala. Kematian, disebabkan rusaknya epitel-epitel respirasi insang dan terhalangnya pertukaran gas (oksigen) di dalam air. (Jones, 1973).
Matelev et al, 1983, meneliti daya racun deterjen alkyl sulfate pada ikan mas. Pada konsentrasi 5 mg/l, alkyl sulfate tidak mematikan ikan setelah dipapar 10 hari. Pada konsentrasi 10 mg/1, ikan mati sebanyak 30% sesudah dipapar 4 hari, dan pada konsentrasi 15 mg/i, semuanya setelah dipapar selama 20 jam.
Deterjen berefek racun bagi biota air lain seperti udang dan larva serangga air. Daya racunnya bervariasi, tergantung konsentrasi, spesies, umur dan lamanya pemaparan. Pada konsentrasi di bawah, subletal deterjen merusak indra penciuman hingga kehilangan kemampuan mendeteksi makanannya.

Manusia sebagai penentu
Ancaman pencemaran perairan oleh deterjen, barangkali, akan terus berlangsung walau ABS diganti oleh LAS. Penggunaan LAS hanya mengurangi daya racun dan efek teratogen, tetapi tidak mengurangi laju pendangkalan, dan eutrofikasi perairan, bila penggunaan dan penanganan deterjen seperti sekarang. Dampak lingkungan ini hanya dapat dikendalikan dengan mengurangi masuknya unsur fosfor-deterjen ke dalam perairan. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh upaya manusia menggunakan dan membuang deterjen secara lebih bijaksana.

Kesadaran lingkungan: Religius, ilmiah, dan estetis

Oleh.
N. Daldjoeni
UK Satya Wacana Salatiga
HARIAN SURYA 4 MARET 1992

Dua tahun lalu ketika dalam konferensi iptek dan ekonomi di Washington DC (18-11-1990) Indonesia dituduh ceroboh dalam memelihara hutan-hutan tropisnya. Menteri Habibie balik berseru agar negara-negara industri maju membantu kita dalam usaha rehabilitasinya. Dijelaskan pula bahwa setiap tahunnya Indonesia sendiri sudah mengeluarkan 3000 juta dollar untuk tindakan reboisasi.
Baru-baru ini Prof. Johannes tak terima jika dikatakan bahwa banyaknya pembakaran hutan di luar Jawa berkaitan dengan pertanian berladang, telah menyumbangkan banyak CO2 dan CH4 ke udara, sehingga meningkatkan efek rumah kaca bagi dunia kita secara global. Reaksinya: Tidakkah dunia industri Barat itu yang paling banyak menggunakan minyak dan gas untuk pembakaran?
Mungkin pembaca ikut pula membela tokoh-tokoh ilmuwan kita di atas dengan gagasan ini. Jika toh di negara kita ini rakyatnya masih dianggap kurang sadar lingkungan, terutama itu berlaku bagi pihak-pihak yang sembrono mengeksploitasi hutan-hutan berskala besar. Adapun rakyat biasa yang berkesadaran lingkungan tradisional lebih dapat diandalkan keseriusannya menjaga kelestarian lingkungan. Tulisan berikut ingin membahas hal tersebut.

Kesadaran lingkungan tradisional
Pepohonan rimbun di sekitar belik (sumber air) tak akan ditebangi oleh penduduk, karena dipercaya menjadi tempat bersemayamnya roh-roh para cikal bakal desa. Semakin takut penduduk melanggar wewaler tersebut, semakin lestarilah lingkungan alam. Tetapi kelestarian lingkungan tadi tak berdasarkan rasio. Menurut pemikiran mereka matinya sumber air bukan akibat tindakan penebangan pepohonan sebagai penahan air tanah, tetapi kutukan nenek moyang yang tak merestui penebangan itu.
Kesadaran lingkungan seperti di atas yang berselubungkan takhayul bukanlah yang kita inginkan sekarang. Sebab jika kesadaran lama yang dipakai, datangnya sekolah-sekolah di desa yang mengajarkan bahwa roh-roh, lelembut, thuyul, dhemit dan sebagainya itu tak ada sama sekali, lantas akan mendorong orang, semaunya menebangi pepohonan tadi karena dapat dijual. Di sinilah ekonomi mulai melawan ekologi.
Kelestarian hutan-hutan di Jawa di masa lampau pun bukanlah berkat kesadaran lingkungan nenek moyang kita. Orang takut membabat hutan karena keangkerannya. Misalnya Alas Roban, hutan antara Semarang dan Pekalongan begitu angkernya sampan ada sebutan jalma mara, jalma mati (manusia datang ia mati).
Tetapi di zaman sekarang orang tak takut kuwalat (terkutuk) membabatnya. Demi keuntungan orang berani membabatnya dan kalau perlu dengan menyogok tim pengawas. Lalu sebutannya: jalma mara alas musna (manusia datang hutan pun lenyap).

Ekologi, inklusionisme
Dari sekian banyak ilmu, hanya biologilah, termasuk ke dalamnya ekologi, yang tergesa-gesa mengajarkan faham inklusionisme yaitu bahwa manusia itu bagian dari alam. Karena itu dalam ilmu kedokteran pasien dilihat terutama sebagai gejala alam. Sebenarnya selain manusia itu bagian dari alam (man in nature), juga berlaku alam di dalam manusia (nature in man).
Tubuh kita kan memuat air, udara, tanah dan api, empat unsur alam yang pokok. Dua pertiga dari bobot badan kita berasal dari air yang terkandung di dalamnya. Jika tubuh dikeringkan menjadi mumi, bobotnya kan tinggal sepertiganya dari yang semula.
Kita bernafas dengan mengeluarkan dan memasukkan udara. Daging dan tulang-tulang kita secara kimiawi memuat unsur-unsur tanah, karena yang kita makan itu hasil dari bumi. Manusia sewaktu hidup suhu tubuhnya 37C. Panas badan itu api kita yang padam bersama kematian kita. Menurut filsuf Yunani kuno, Anaximenes dan Heraclitos sumber dari kehidupan itu empat unsur bumi, api, air, udara dan tanah.
Filsafat India yang terpengaruh filsafat Yunani zaman Hellenisme kemudian mengendap dalam pemikiran orang Jawa dan Bali, sehingga kita juga mengaku empat unsur alam tadi, agni (api), tirta (air), maruta (udara) dan bantala (tanah).
Sehubungan itu Prof ECJ. Mohr pakar pedologi (Ilmu tanah) Belanda menjelaskan kesuburan pulau Jawa (gemah ripah loh jinawi) akibat berkat hadirnya empat faktor, vulkanis (api), hidrologis (air), klimatis (udara) dan pedologis (tanah).
Dalam kamus Jawa-Belanda kuno (Vreede en Gericke, 1868) saya temukan makna terinci dari gemah ripah loh jinawi, sebagai berikut; gemah itu padat penduduk (volkrijk), ripah maksudnya makmur (overloed), adapun loh maknanya subur (vruchtbaar) dan jinawi itu banyak air (waterrijk). Saya rasa ini lebih betul daripada tafsiran I Nyoman Nurjaya, SH yang menulis, lohji-biji dan nawi-benih (Suara Merdeka, 3/9/90). barangkali dalam bahasa Bali memang demikian itu artinya.

Ekonomi: eksklusionisme
Ilmu-ilmu lain yang bukan biologi melihat manusia berada di luar alam, sehingga berlaku di situ faham man and nature. Manusia diperhadapkan dengan alam. Hal ini nampak jelas pada ilmu ekonomi alam sebagai sumberdaya perlu digarap, dimanfaatkan, bahkan diperas potensinya. Lewat praktek overeksploitasi alam, ekonomi mendorong perusakaan terhadap alam, sebaliknya ekologi dipuji karena menyadarkan manusia untuk melestarikan alam.
Ironis sekali bahwa ekonomi dan ekologi yang sama-sama berakarkan kata oikos (rumah tangga) dapat begitu bertolak belakang tata kerjanya. Tetapi sebenarnya ekonomi selalu merangsang manusia agar jangan serakah, ia harus berhemat karena yang dibahas ekonomi itu kalangkaan. Persamaan dengan ekologi juga ada, ekonomi dan ekologi sama-sama ingin mengusahakan homeostasis equilibrium (keseimbangan ajeg yang mengatur sendiri).
Ekonomi dalam makna rumah tangga manusia mengejar seimbangnya pengeluaran dengan pemasukan, sedang ekologi sebagai rumah tangga alam mendambakan agar kerusakan diimbangi dengan usaha konservasi (pengawetan) dan preservasi (pelestarian).
Agama Kristen dan Islam melihat manusia itu inklusif alam tetapi juga eksklusif alam. Secara jasmani ia itu bagian dari alam, karena Adam diciptakan Allah dari tanah, setelah mati manusiapun kembali menjadi tanah. Adapun secara rohani ia berada di luar alam, karena Allah berkenan menyebulkan nafas ke dalam hidung Adam. Karena itu rohnya kemudian juga akan kembali kepada Allah.
Di dalam kepercayaan Kejawen tak dipersoalkan hal inklusionisme dan eksklusionisme tadi. Yang penting di sana manusia itu jagad cilik yang dalam segala perilakunya haruslah serasi dengan alam semesta yakni jagad gedhe. Keseimbangan ekologis pun sebenarnya terletak pula dalam berharmonisnya mikrokosmos dengan makrokosmos itu.

Pendidikan etika lingkungan
Jauh sebelum ada Club of Rome (1972) yang memprihatinkan rusaknya lingkungan secara global, filsuf Schweitzer yang bermukim di tengah hutan rimba benua Afrika di tahun likuran (duapuluhan) mendambakan adanya etika lingkungan. Kuncinya adalah reverence for life (menghormati kehidupan). Diajaknya umat manusia agar menghargai setiap ekspresi kehidupan, termasuk tetumbuhan, berdasarkan akal, rasa dan iman. Kita harus melihat pohon itu sebagai sesuatu yang indah, dan secara religius sebagai ciptaan Allah yang mengagumkan.
Di zaman pembangunan kini, di mana bangsa kita harus bergaul dengan alam dengan cara yang sebaik-baiknya, sudah sewajarnya etika lingkungan dididikkan kepada masyarakat dengan bijaksana. Dengan sekadar mengandalkan pada bekal kesadaran lingkungan, model yang diwariskan oleh nenek moyang yang berlandaskan kepercayaan kuno (magis-mistis). Akibatnya seperti ditulis di atas, bisa mengecewakan. Sebab dengan datangnya sekolah-sekolah dan pengaruh pemikiran ilmiah, segala bekal tadi akan goyang berceceran dan merugikan.
Ideal sekali apabila sambil membuang bekal tradisional yang lama, bersama itu masyarakat terutama generasi mudanya, diberi didikan etika lingkungan baru yang coraknya religius, ilmiah dan estetis seperti dijelaskan di atas. Etika lingkungan ini mencakup relasi manusia dengan alam di mana kebenaran diartikan hadirnya fungsi melestarikan integritas, stabilitas dan keindahan pada komunitas biotis. Sebaliknya, sesuatu itu tidak benar, apabila fungsinya berlawanan dengan prinsip-prinsip itu semua.

Minggu, 07 Juni 2009

Rumah kumuh, sisi lain kehidupan di kota besar

Oleh:
Ages Widjanarko
Alumnus PSKM-FK Unair
HARIAN SURYA 19 SEPTEMBER 1991

Di negara-negara yang sedang berkembang, dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, seperti Indonesia, terjadinya gangguan keseimbangan kualitas lingkungan hidup bersumber dari laju pertumbuhan dan kepadatan penduduknya.
Tingkat sosial ekonomi penduduk yang masih rendah serta kurangnya penyediaan prasarana dan sarana yang dibutuhkan, baik fisik maupun sosial ekonomi, menyebabkan makin cepatnya proses menurunnya kualitas lingkungan hidup.
Manusia yang terus bertambah, pada ruang tempat yang terbatas, dalam kurun waktu singkat, akan menumbuhkan masalah lingkungan hidup yang bersifat fisik dan sosial. Pertambahan dan pemusatan manusia yang besar dalam lingkungan yang terbatas menimbulkan permintaan besar terhadap penyediaan perumahan dan permukiman.

Urbanisasi
Di kota-kota besar di Indonesia, tingkat pertumbuhan penduduknya meningkat secara cepat. Peningkatan ini terjadi baik karena masih cukup tingginya tingkat kelahiran maupun oleh sebab pesatnya arus urbanisasi. Peningkatan pertumbuhan penduduk yang tinggi pada ruang lingkungan kota yang terbatas ini segera menimbulkan potensi kritis terhadap kesehatan lingkungan perumahan dan permukiman serta segala segi yang berkaitan dengan kepadatan penduduk dalam keterbatasan ruang lingkungannya.
Sementara itu, merupakan kenyataan bahwa kaum urban adalah pendatang yang terikat oleh norma-norma kehidupan desa dengan tingkat pendidikan rata-rata yang masih rendah. Belum lagi kesulitan-kesulitan mereka untuk menyesuaikan pola-pola tradisional daerahnya yang telah mendarah daging dengan kehidupan kota yang memang demikian pelik, mengakibatkan kian guncanglah keseimbangan kualitas lingkungan hidup kota.
Di daerah pedesaan areal tanah masih luas dan pada umumnya keadaan alamnya masih berada pada tingkatan di mana terdapat daya lenting yang cukup memadai terhadap kemungkinan adanya gangguan keseimbangan lingkungan. Dalam keadaan demikian penduduk masih dapat dengan leluasa melakukan kebiasaan-kebiasaan kehidupan desa, tanpa begitu khawatir akan terjadinya ketidakseimbangan lingkungan.

Wajar
Secara kongkret gambaran arus urbanisasi dengan segenap permasalahannya tersebut dapat dilihat dalam bentuk tumbuhnya perumahan dan permukiman liar yang sangat padat, kumuh dan semrawut di balik megah dan mewahnya gedung-gedung perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan serta menjulangnya hotel-hotel bertaraf internasional. Kondisi perumahan dan lingkungan hidup di balik gemerlapan itu adalah sangat tidak memenuhi persyaratan kesehatan; pembuangan sampah dan kotoran manusia di tempat-tempat yang tidak semestinya, ke dalam perairan atau areal terbuka.
Namun meskipun sebagian besar mereka terpaksa hidup dalam lingkungan fisik yang sangat buruk dari segi kesehatan dan taraf hidup, mereka umumnya memandang lingkungan yang baru itu lebih banyak memberi harapan daripada tempatnya semula di desa.
Di sisi lain mereka kurang memahami akan pentingnya arti kualitas lingkungan hidup yang memburuk akibat perusakan kumulatif yang mereka lakukan. Terlebih lagi bila mereka telah menganggap bahwa yang mereka lakukan itu seolah-olah wajar dalam tata kehidupan kota!

Syarat minimal
Sebenarnya setiap keluarga haruslah mendiami tempat tinggal yang tersendiri, terpelihara, cukup baik dan aman serta kuat konstruksinya. Akan tetapi keadaan ideal ini sulit didapatkan pada perumahan dan permukiman kumuh. Dikarenakan jumlah penduduk yang kian padat dengan lahan permukimanyang relatif tetap, maka bangunan-bangunan rumah yang ada tersebut untuk dapat dikatakan sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan saja belumlah mencukupi.
Menurut WHO, secara fisiologis rumah yang memenuhi syarat adalah rumah dengan ukuran luas yang layak dengan kebutuhan ruang untuk tiap orang sekitar 10 meter kubik. Selain itu suhu lingkungan dapat terpelihara sehingga ada keseimbangan antara suhu badan dan suhu ruangan. Juga keberadaan bangunan rumah harus mampu mencegah pencemaran udara dan debu serta dapat menyalurkan sinar matahari secara langsung dengan tanpa menyilaukan mata.
Syarat-syarat di atas memang hampir tidak dapat ditemukan di permukiman-permukiman kumuh. Rumah-rumah penduduk di sini relatif sempit, udara yang berputar dalam rumahpun terasa pengap dan lembab, selain disebabkan sinar matahari sedikit sekali yang masuk juga pergantian udara yang tidak berjalan lancar karena kurang berfungsinya jendela dan lubang angin yang ada.
Semestinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk mendapatkan suhu yang optimum, ukuran jendela terbuka minimal 10% luas lantai; luas lubang udara atau saluran angin sekurang-kurangnya 0,35% luas lantai pada dekat permukaan bawah langit-langit. Penempatan posisi yang baik dan luas yang cukup dari jendela atau lubang angin akan menjamin terjadinya gerak angin dan pertukaran udara bersih dan lancar. Dan proses ini akan mengurangi kelembaban udara dan suhu udara dalam ruangan.
Sementara itu, secara psikologis rumah yang sempit dapat mengganggu privacy anggota keluarga. Mereka menjadi enggan tinggal di rumah, komunikasi di antara mereka jarang terjadi sehingga dapat mengurangi keharmonisan rumah tangga. Keharmonisan yang kurang ini pada gilirannya bisa menganggu perkembangan jiwa anggota keluarga serta dapat menciptakan masalah-masalah sosial di masyarakat. Dalam konteks demikian, fungsi rumah sebagai tempat untuk membangun keluarga yang bahagia sulit terpenuhi.
Kesulitan-kesulitan lain yang timbul berkenaan dengan kondisi rumah di permukiman kumuh adalah kurangnya sarana yang memadai bagi penyediaan air minum maupun sarana MCK (mandi cuci kakus) yang belum memenuhi syarat kesehatan semakin memperkuat keberadaan permukiman kumuh sebagai sarang penularan berbagai macam penyakit. Terlebih lagi bila letak permukiman cukup dekat dengan kawasan industri, maka limbah-limbah buangan baik yang berbentuk cair maupun gas/uap tidak mustahil dapat mencemari dan menimbulkan gangguan kesehatan pada penduduk sekitarnya.

Biaya tinggi
Panitia ahli yang dibentuk WHO (1961) pernah mengemukakan, bahwa aspek-aspek kesehatan masyarakat, permukiman dan lingkungan adalah suatu masalah kompleks yang menyangkut perencanaan kesehatan masyarakat, bentuk bangunan, ilmu bangunan, kultur dan tradisi sosial, pemerintahan serta kemajuan ilmu pengetahuan yang saling berkait satu sama lainnya, sehingga merupakan suatu kesatuan yang sulit dipisahkan dalam mempelajari, menganalisis dan mendiskusikannya.
Timbulnya secara liar perumahan dan permukiman kumuh yang menyebar di segenap pelosok kota ini adalah wujud nyata dari tantangan yang harus dihadapi sekaligus dituntaskan penyelesaiannya oleh terintegrasinya kompleksitas disiplin ilmu di atas.
Sedangkan para pemukim sendiri telah terjebak dalam gaya hidup kota yang pada kenyataannya tidak banyak memberi peluang dan kesempatan kepada mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya. Oleh karena itu pembangunan lingkungan perumahan dan permukiman perlu mengambil kebijaksanaan dan langkah-langkah yang mantap dan terpadu serta harus diserasikan dengan kebijaksanaan pemerataan.