Laman

Minggu, 07 Juni 2009

Rumah kumuh, sisi lain kehidupan di kota besar

Oleh:
Ages Widjanarko
Alumnus PSKM-FK Unair
HARIAN SURYA 19 SEPTEMBER 1991

Di negara-negara yang sedang berkembang, dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, seperti Indonesia, terjadinya gangguan keseimbangan kualitas lingkungan hidup bersumber dari laju pertumbuhan dan kepadatan penduduknya.
Tingkat sosial ekonomi penduduk yang masih rendah serta kurangnya penyediaan prasarana dan sarana yang dibutuhkan, baik fisik maupun sosial ekonomi, menyebabkan makin cepatnya proses menurunnya kualitas lingkungan hidup.
Manusia yang terus bertambah, pada ruang tempat yang terbatas, dalam kurun waktu singkat, akan menumbuhkan masalah lingkungan hidup yang bersifat fisik dan sosial. Pertambahan dan pemusatan manusia yang besar dalam lingkungan yang terbatas menimbulkan permintaan besar terhadap penyediaan perumahan dan permukiman.

Urbanisasi
Di kota-kota besar di Indonesia, tingkat pertumbuhan penduduknya meningkat secara cepat. Peningkatan ini terjadi baik karena masih cukup tingginya tingkat kelahiran maupun oleh sebab pesatnya arus urbanisasi. Peningkatan pertumbuhan penduduk yang tinggi pada ruang lingkungan kota yang terbatas ini segera menimbulkan potensi kritis terhadap kesehatan lingkungan perumahan dan permukiman serta segala segi yang berkaitan dengan kepadatan penduduk dalam keterbatasan ruang lingkungannya.
Sementara itu, merupakan kenyataan bahwa kaum urban adalah pendatang yang terikat oleh norma-norma kehidupan desa dengan tingkat pendidikan rata-rata yang masih rendah. Belum lagi kesulitan-kesulitan mereka untuk menyesuaikan pola-pola tradisional daerahnya yang telah mendarah daging dengan kehidupan kota yang memang demikian pelik, mengakibatkan kian guncanglah keseimbangan kualitas lingkungan hidup kota.
Di daerah pedesaan areal tanah masih luas dan pada umumnya keadaan alamnya masih berada pada tingkatan di mana terdapat daya lenting yang cukup memadai terhadap kemungkinan adanya gangguan keseimbangan lingkungan. Dalam keadaan demikian penduduk masih dapat dengan leluasa melakukan kebiasaan-kebiasaan kehidupan desa, tanpa begitu khawatir akan terjadinya ketidakseimbangan lingkungan.

Wajar
Secara kongkret gambaran arus urbanisasi dengan segenap permasalahannya tersebut dapat dilihat dalam bentuk tumbuhnya perumahan dan permukiman liar yang sangat padat, kumuh dan semrawut di balik megah dan mewahnya gedung-gedung perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan serta menjulangnya hotel-hotel bertaraf internasional. Kondisi perumahan dan lingkungan hidup di balik gemerlapan itu adalah sangat tidak memenuhi persyaratan kesehatan; pembuangan sampah dan kotoran manusia di tempat-tempat yang tidak semestinya, ke dalam perairan atau areal terbuka.
Namun meskipun sebagian besar mereka terpaksa hidup dalam lingkungan fisik yang sangat buruk dari segi kesehatan dan taraf hidup, mereka umumnya memandang lingkungan yang baru itu lebih banyak memberi harapan daripada tempatnya semula di desa.
Di sisi lain mereka kurang memahami akan pentingnya arti kualitas lingkungan hidup yang memburuk akibat perusakan kumulatif yang mereka lakukan. Terlebih lagi bila mereka telah menganggap bahwa yang mereka lakukan itu seolah-olah wajar dalam tata kehidupan kota!

Syarat minimal
Sebenarnya setiap keluarga haruslah mendiami tempat tinggal yang tersendiri, terpelihara, cukup baik dan aman serta kuat konstruksinya. Akan tetapi keadaan ideal ini sulit didapatkan pada perumahan dan permukiman kumuh. Dikarenakan jumlah penduduk yang kian padat dengan lahan permukimanyang relatif tetap, maka bangunan-bangunan rumah yang ada tersebut untuk dapat dikatakan sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan saja belumlah mencukupi.
Menurut WHO, secara fisiologis rumah yang memenuhi syarat adalah rumah dengan ukuran luas yang layak dengan kebutuhan ruang untuk tiap orang sekitar 10 meter kubik. Selain itu suhu lingkungan dapat terpelihara sehingga ada keseimbangan antara suhu badan dan suhu ruangan. Juga keberadaan bangunan rumah harus mampu mencegah pencemaran udara dan debu serta dapat menyalurkan sinar matahari secara langsung dengan tanpa menyilaukan mata.
Syarat-syarat di atas memang hampir tidak dapat ditemukan di permukiman-permukiman kumuh. Rumah-rumah penduduk di sini relatif sempit, udara yang berputar dalam rumahpun terasa pengap dan lembab, selain disebabkan sinar matahari sedikit sekali yang masuk juga pergantian udara yang tidak berjalan lancar karena kurang berfungsinya jendela dan lubang angin yang ada.
Semestinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk mendapatkan suhu yang optimum, ukuran jendela terbuka minimal 10% luas lantai; luas lubang udara atau saluran angin sekurang-kurangnya 0,35% luas lantai pada dekat permukaan bawah langit-langit. Penempatan posisi yang baik dan luas yang cukup dari jendela atau lubang angin akan menjamin terjadinya gerak angin dan pertukaran udara bersih dan lancar. Dan proses ini akan mengurangi kelembaban udara dan suhu udara dalam ruangan.
Sementara itu, secara psikologis rumah yang sempit dapat mengganggu privacy anggota keluarga. Mereka menjadi enggan tinggal di rumah, komunikasi di antara mereka jarang terjadi sehingga dapat mengurangi keharmonisan rumah tangga. Keharmonisan yang kurang ini pada gilirannya bisa menganggu perkembangan jiwa anggota keluarga serta dapat menciptakan masalah-masalah sosial di masyarakat. Dalam konteks demikian, fungsi rumah sebagai tempat untuk membangun keluarga yang bahagia sulit terpenuhi.
Kesulitan-kesulitan lain yang timbul berkenaan dengan kondisi rumah di permukiman kumuh adalah kurangnya sarana yang memadai bagi penyediaan air minum maupun sarana MCK (mandi cuci kakus) yang belum memenuhi syarat kesehatan semakin memperkuat keberadaan permukiman kumuh sebagai sarang penularan berbagai macam penyakit. Terlebih lagi bila letak permukiman cukup dekat dengan kawasan industri, maka limbah-limbah buangan baik yang berbentuk cair maupun gas/uap tidak mustahil dapat mencemari dan menimbulkan gangguan kesehatan pada penduduk sekitarnya.

Biaya tinggi
Panitia ahli yang dibentuk WHO (1961) pernah mengemukakan, bahwa aspek-aspek kesehatan masyarakat, permukiman dan lingkungan adalah suatu masalah kompleks yang menyangkut perencanaan kesehatan masyarakat, bentuk bangunan, ilmu bangunan, kultur dan tradisi sosial, pemerintahan serta kemajuan ilmu pengetahuan yang saling berkait satu sama lainnya, sehingga merupakan suatu kesatuan yang sulit dipisahkan dalam mempelajari, menganalisis dan mendiskusikannya.
Timbulnya secara liar perumahan dan permukiman kumuh yang menyebar di segenap pelosok kota ini adalah wujud nyata dari tantangan yang harus dihadapi sekaligus dituntaskan penyelesaiannya oleh terintegrasinya kompleksitas disiplin ilmu di atas.
Sedangkan para pemukim sendiri telah terjebak dalam gaya hidup kota yang pada kenyataannya tidak banyak memberi peluang dan kesempatan kepada mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya. Oleh karena itu pembangunan lingkungan perumahan dan permukiman perlu mengambil kebijaksanaan dan langkah-langkah yang mantap dan terpadu serta harus diserasikan dengan kebijaksanaan pemerataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar