Laman

Senin, 08 Juni 2009

Dampak lingkungan pencemaran deterjen

Oleh:
Agus Sugianto
Dosen Ekologi Perairan FMIPA Unair Surabaya
HARIAN SURYA 2 MARET 1992

Belum lama ini Surya dalam headline-nya memberitakan, air PDAM Surabaya tercemar deterjen. Kadar deterjennya nyaris sama dengan kadar yang terkandung dalam air Kali Surabaya sebagai bahan baku PDAM. Hasil penelitian sekelompok peneliti, seperti diekspose itu, sebenarnya masih memenuhi syarat. Berdasar keputusan Menteri Negara KLH No: Kep-02/MENKLH/I/1988, kadar deterjen air PDAM (0,210-0,313 mg/1) maupun kadar Kali Surabaya (0,240 - 0,378 mg/1) masih di bawah kadar maksimum yang diperbolehkan yaitu 0,5mg/l SABM (senyawa aktif biru metilen). Walau kecil, instalasi pengolahan PDAM cukup mampu menurunkan kadar deterjen dari air bakunya.
Namun, karena kecenderungan meningkatnya kadar deterjen di Kali Surabaya akibat terus meningkatnya pencemaran limbah rumah tangga, bukan tidak mungkin suatu saat bahan ini di badan air juga terus meningkat. Dan, akibatnya, instalasi PDAM pun kewalahan menetralisirnya.

Biang keladi
Biang keladi pencemaran deterjen di Kali Surabaya adalah bahan baku deterjen menggunakan senyawa ABS (alkil benzena sulfonat). Bahan baku ini digunakan sebagai campuran deterjen karena mudah larut dalam air dan mempunyai daya pembersih yang menakjubkan. Kelemahannya, gugus ABS-nya sangat stabil (karena rantai alkilnya bercabang), sukar diurai oleh mikroorganisme.
Kandungan mikroorganisme (bakteri) di sungai-sungai di Indonesia sebenarnya cukup tinggi yaitu 102-109 MPN/100ml. Kandungan bakteri sebesar ini, mampu mengurai deterjen ABS sehingga kadarnya menjadi rendah. Karena kebanyakan sungai merupakan tempat pembuangan limbah berbagai kegiatan manusia (industri, domestik dan pertanian), kadar oksigen terlarut (DO)-nya, sangat rendah. Rendahnya oksigen mempengaruhi kecepatan penguraian deterjen oleh bakteri.
Berdasar penelitian Terangna dan Rahayu (1989), pada sampel deterjen yang diberi bakteri dan diaerasi terus menerus dengan kadar oksigen dipertahankan mencapai 70% pada hari ke 7. Pada kondisi tanpa aerasi, penurunan kadar deterjen hanya 58% pada hari yang sama. Deterjen, secara alami cepat terurai di sungai, asal kandungan oksigen kira-kira 6-7 ppm.

Perlu diganti
Mengingat kandungan oksigen Kali Surabaya (dan sungai-sungai lain di Indonesia) umumnya rendah, penggunaan ABS tetap merupakan ancaman pencemaran masa mendatang. Karenanya, perlu diganti jenis deterjen yang mudah terurai.
Di negara maju, deterjen ABS ini sudah tidak digunakan lagi. Gantinya, dipergunakan bahan baku LAS (alkil linier benzena sulfonat). Kelebihannya, rantai alkilnya lurus sehingga mudah diuraikan oleh bakteri. Dengan kondisi sungai yang kadar oksigennya rendah, penggunaan LAS sangat menguntungkan karena mudah terurai. Berdasar penelitian, LAS dapat terurai sebesar 81% dalam waktu 2 hari dalam air yang mengandung bakteri, dibanding ABS hanya 29%.
Dampak paling mengkhawatirkan, diduga dapat berefek teratogen (cacat) pada janin manusia, seperti dialami janin tikus (Surya 3,4 Peb 1992). Namun, berapa besar kadar yang berefek teratogen (cacat) pada manusia, perlu penelitian lebih lanjut. Yang jelas, deterjen berdampak negatif yang cukup luas pada ekosistem perairan, di antaranya sebagai berikut.

Pendangkalan perairan
Deterjen (ABS dan LAS) merupakan salah satu sumber fosfor dalam perairan. Di Inggris, 47-55% fosfor yang masuk ke perairan berasal dari deterjen. Di Amerika, 40-70% limbah fosfor berasal dari deterjen.
Masuknya fosfor ke perairan, tidak semuanya segera dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Karena sukarnya gugus fosfor diurai, sebagian tertimbun di perairan, makin lama makin banyak. Ini dapat menimbulkan pendangkalan. Warna hitam di dasar perairan merupakan bukti pengendapan unsur fosfor.

Eutrofikasi dan pengurangan oksigen
Gugus fosfat sukar diurai oleh bakteri, tetapi merupakan sumber nutrien bagi algae dan tumbuhan air, khususnya di perairan tawar. Meningkatnya kadar fosfat menyebabkan eutrofikasi (penyuburan) algae hijau biru (Microsystis aeruginosa, Anabaena sp dan Oscillatoria sp), algae prymnesium parvum dan bakteri clostridium butolinum.
Sayangnya, kehadiran mikroorganisme ini tidak diinginkan manusia. Pada densitas 104-105 sel/ml, prymnesium parvum cukup untuk memproduksi racun sehingga dapat membunuh ikan. Daya racunnya meningkat jika kandungan fosfor menurun karena pembentukan fosfolipid dalam membran sel ikan terganggu, sehingga racun dapat menembus membran sel (Dafni et al, 1972 dalam Mason, 1981). Bakteri Clostridium bulotinum umumnya melimpah di perairan dangkal yang kadar fosfatnya meningkat. Bakteri ini tumbuh di sedimen dan memproduksi racun sehingga dapat membunuh hewan yang meminum airnya. Microsystis aeruginose, kehadirannya di perairan menimbulkan bau tidak sedap. Hanva sedikit jenis hewan air yang mampu mencerna algae hijau biru ini.
Meledaknya populasi algae atau tumbuhan air, menurunkan kadar nutrien. Karena kehabisan nutrien, algae mati dan menjadi makanan bakteri air. Bakteri dalam mendekomposisi algae memerlukan oksigen, sehingga mempercepat berkurangnya kadar oksigen dalam perairan. Karena habisnya oksigen, bakteri ini (bakteri aerobik) mati. Proses dekomposisi, diperankan oleh bakteri anerobik. Bakteri ini mengurai nitrat menjadi amoniak dan sulfat menjadi sulfida yang bersifat racun bagi biota air. Penguraian oleh bakteri ini juga meningkatkan kandungan CO2 yang juga bersifat racun.
Karena sifat deterjen aktif permukaan, dengan kadar yang rendah pun (kira-kira 0,5 ppm), sudah mampu membentuk busa. Busa ini dapat menghambat difusi oksigen dari udara ke perairan. Konsentrasi oksigen dalam air penting, sebab jika konsentrasi turun ke bawah 5 ppm, daya racun deterjen terhadap ikan mulai meningkat.

Efek racun bagi biota air
Konsentrasi sublethal deterjen meningkatkan frekuensi respirasi ikan, sehingga konsumsi oksigen meningkat 2-3 kali. Ikan yang keracunan deterjen menunjukkan gejala mati lemas. Mulut dan tutup insang (operkulum) terbuka, tubuh diselimuti lendir, insang berwarna merah dan menyala. Kematian, disebabkan rusaknya epitel-epitel respirasi insang dan terhalangnya pertukaran gas (oksigen) di dalam air. (Jones, 1973).
Matelev et al, 1983, meneliti daya racun deterjen alkyl sulfate pada ikan mas. Pada konsentrasi 5 mg/l, alkyl sulfate tidak mematikan ikan setelah dipapar 10 hari. Pada konsentrasi 10 mg/1, ikan mati sebanyak 30% sesudah dipapar 4 hari, dan pada konsentrasi 15 mg/i, semuanya setelah dipapar selama 20 jam.
Deterjen berefek racun bagi biota air lain seperti udang dan larva serangga air. Daya racunnya bervariasi, tergantung konsentrasi, spesies, umur dan lamanya pemaparan. Pada konsentrasi di bawah, subletal deterjen merusak indra penciuman hingga kehilangan kemampuan mendeteksi makanannya.

Manusia sebagai penentu
Ancaman pencemaran perairan oleh deterjen, barangkali, akan terus berlangsung walau ABS diganti oleh LAS. Penggunaan LAS hanya mengurangi daya racun dan efek teratogen, tetapi tidak mengurangi laju pendangkalan, dan eutrofikasi perairan, bila penggunaan dan penanganan deterjen seperti sekarang. Dampak lingkungan ini hanya dapat dikendalikan dengan mengurangi masuknya unsur fosfor-deterjen ke dalam perairan. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh upaya manusia menggunakan dan membuang deterjen secara lebih bijaksana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar