Laman

Sabtu, 19 Juni 2010

Taburkan Jamur Sayang

Mingguan MIMBAR KARYA, Minggu V Juni 1996

Seorang biolog dari Purwokerto menemukan jamur untuk membasmi nyamuk demam berdarah. Jamur L. gigantium ini aman buat manusia, bisa disebarkan seperti ragi.
Siasat perang menghancurkan pesawat tempur musuh selagi mereka belum terbang bisa dipakai untuk membasmi nyamuk demam berdarah. Caranya, bukan dengan menyemprotnya selagi tidur malam hari, karena nyamuk jenis ini beroperasi siang bolong. Tapi membinasakan nyamuk itu selagi belum mampu terbang.
Cara ini pula yang dipakai Prof Rubijanto Misman dari Universitas Jenderal Soedirman., Purwokerto, Jawa Tengah. Ihwal pembasmian nyamuk demam berdarah itu diungkapkannya dalam pidato ilmiah untuk mengukuhkannya sebagai guru besar universitas tempatnya bekerja akhir bulan lalu. Pada kesempatan itu, Rubijanto menawarkan cara baru untuk memerangi demam berdarah dengan teknik biologis.
Rubijanto menjagokan jamur Lagenidium gigantium alias L. gitantium sebagai lawan nyamuk demam berdarah Aedes aegypti. Jamur ini, dalam penelitian Rubijanto, mampu menyergap nyamuk penyebar virus demam berdarah itu langsung di habitat pembiakannya, di tempat-tempat air bersih yang menggenang. "Larva Aedes aegypti ternyata menjadi makanan empuk bagi jamur L. gigantium," ujar dosen Universitas Soedirman itu.
Kesempatan menjajal keampuhan jamur L. gigantium itu diperoleh Rubijanto ketika dia mendapat beasiswa belajar di College of Biological Science, di Ohio State University di Columbus, AS, tahun 1988. Bersama seorang kawan sefakultasnya di Universitas Soedirman, Rubijanto meneliti pola interaksi antara jamur L. gigantium dan nyamuk Aedes aegypti dalam sebuah habitat perairan.
Ternyata, menurut Rubijanto, nyamuk yang berbahaya di darat itu tak berkutik menghadapi serangan jamur mikro yang tak terlihat oleh mata telanjang itu. Anak-anak nyamuk (larva) Aedes, terutama pada stadium 3 dan 4 yang hampir jadi nyamuk, menjadi sasaran kolom jamur itu. Lemak sterol yang banyak terdapat pada larva ini merupakan santapan yang disukai jamur itu. "Dalam tempo 72 jam setelah terkena jamur, tubuh larva itu hancur," kata Rubijanto.
Dalam pembiakannya, sebagaimana laiknya keluarga jamur, gigantium menempuh dua cara: secara seksual membentuk oospora dan secara aseksual membentuk zoospora. "Zoospora itulah yang menjadi sumber infeksi bagi nyamuk Aedes aegypti," kata Rubijanto.
Zoospora jamur ini punya organ yang disebut flagel, yang bentuknya mirip sepasang kaki. Dengan flagel itu, benih jamur itu berenang mencari inang, seperti benalu mencari pohon untuk menumpang hidup. Bila zoospora ini mendapatkan inang larva nyamuk Aedes, dia akan cepat berkembang, membentuk sulur hifa yang kemudian bercabang-cabang menjadi jalinan benang mirip faring yang disebut miselium.
Pada tahap miselium ini jamur siap melakukan proses pembiakan, membentuk zoospora dan oospora. Perkembangan jamur ini sangat cepat, hampir seiring dengan pertumbuhan larva. Dalam penelitiannya di Columbus, Rubijanto menjumpai 178-250 ribu sel zoospora pada larva korban. Bibit jamur L. gigantium itu dibawa Rubijanto ke Purwokerto sebagai oleh-oleh. Penelitian dilanjutkan. Dari dua "varietas" yang dicobanya, dari India dan Amerika, tak semua beradaptasi bagus untuk lingkungan tropic.
Jamur India terbukti lebih kuat. "Dia bisa bertahan di perairan yang tercemar, berkadar garam tinggi, dan dalam segala cuaca," tutor biolog berusia 48 tahun ini.
Jamur ini rupanya tak cuma efektif memerangi nyamuk demam berdarah. Larva nyamuk Anopheles pembawa penyakit malaria dan Culex penebar cacing benang pun disantapnya habis. Di habitat baru Indonesia, kehadiran jamur L. gigantium ini, menurut Rubijanto, tak berbahaya. Selain larva nyamuk, hewan air lainnya seperti ikan, kodok, tak diusiknya. "Jamur ini sangat selektif mencari mangsa," tambah Rubijanto.
Maka, biolog Purwokerto ini mengusulkan agar jamur ini digunakan untuk penanggulangan demam berdarah. Dr. Susamto, ahli virus dari UGM, Yogya, mendukungnya. "Karena tak memberikan efek residu insektisida," ujarnya. Pemakaian bahan kimia yang berulang seperti penaburan serbuk abate seperti yang selama ini dipakai untuk membasmi nyamuk demam berdarah, selain menimbulkan pencemaran, kata Susamto juga mengundang perkara lain. "Akan muncul biotipe baru yang kebal," tambahnya.
Di samping itu, penggunaan jamur itu relatif permanen. Sebab, bila populasi nyamuk menyusut, jamur ini menjalani masa dormasi. Zoospora membuat dinding di sekeliling tubuhnya, untuk perlindungan, dan mereka tak melakukan aktivitas metabolisms. Masa dormasi itu dapat bertahun-tahun. Selama masa paceklik, sel-sel dorman itu tetap tinggal di perairan, dan baru aktif lagi bila datang larva nyamuk.
Untuk penyebaran yang lebih luas, Rubijanto telah pula menemukan caranya. Zoospora yang dorman itu diisolasi sebagai bibit, mirip ragi untuk oncom atau tempe. Bila sewaktu-waktu diperlukan, "ragi" itu bisa dibiakkan dalam larutan yang berisi kuning telur. Beberapa saat di larutan itu,
bibit dorman akan aktif kembali, sampai populasinya 30 ribu sel per cc. Sesudah itu, tinggal disebar di kolom-kolom atau di tempat air tergenang. Kalau jamur ini diprodusi massal, mungkin akan muncul iklan : "Taburkan jamur, Sayang." (TP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar